Ilmu Laduni Dalam Islam
قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا
إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang
kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( QS Al
Baqarah : 32 )
Diantara pelajaran yang bisa diambil dari ayat di
atas adalah :
Bahwa semua ilmu yang dimiliki makhluq hidup di bumi
dan di langit adalah ajaran dari Allah swt, termasuk ilmu yang dimiliki oleh
manusia. Dengan demikian, kita katakan bahwa semua ilmu yang dimiliki oleh
manusia adalah Ilmu Laduni, yaitu ilmu yang berasal dari Allah swt . Timbul
suatu pertanyaan, apa sebenarnya hakikat ilmu laduni menurut pandangan Islam ?
apakah seperti yang sering di pahami orang-orang sufi selama ini atau ada arti
lain yang lebih benar.
Pengertian Ilmu Laduni
Menurut Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu laduni dalam
pengertian umum terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ilmu yang didapat tanpa
belajar (wahbiy). Kedua, ilmu yang didapat karena belajar (kasbiy).
Bagian pertama :
Bagian pertama ini, terbagi menjadi dua macam:
1. Ilmu Syar’iat, yaitu ilmu tentang perintah dan
larangan Allah yang harus disampaikan kepada para Nabi dan Rasul melalui jalan
wahyu (wahyu tasyri’), baik yang langsung dari Allah maupun yang menggunakan
perantaraan malaikat Jibril. Jadi semua wahyu yang diterima oleh para nabi
semenjak Nabi Adam alaihissalam hingga nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah ilmu laduni termasuk yang diterima oleh Nabi Musa dari Nabi
Khidlir . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Khidhir:
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً
مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا“
Yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi:
65)
Di dalam hadits Imam Al Bukhari, Nabi Khidlir
alaihissalam berkata kepada Nabi Musa alaihissalam:
“Sesungguhnya aku berada di atas sebuah ilmu dari
ilmu Allah yang telah Dia ajarkan kepadaku yang engkau tidak mengetahuinya. Dan
engkau (juga) berada di atas ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu
yang aku tidak mengetahuinya juga.”
Ilmu syari’at ini sifatnya mutlak kebenarannya,
wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap mukallaf sampai datang ajal
kematiannya.
2. Ilmu Ma’rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang
sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham/terbukanya tabir ghaib)
atau ru’ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin
dan shalih.
Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan
julukan “ilmu laduni” di kalangan ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak boleh
diyakini atau diamalkan manakala menyalahi ilmu syari’at yang sudah termaktub
di dalam mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits. Menyalahi di sini bisa
berbentuk menentang, menambah atau mengurangi.
Bagian Kedua :
Adapun bagian kedua yaitu ilmu Allah yang diberikan
kepada semua makhluk-Nya melalui jalan kasb (usaha) seperti dari hasil membaca,
menulis, mendengar, meneliti, berfikir dan lain sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (syari’at, ma’rifat dan kasb)
yang paling utama adalah ilmu yang bersumber dari wahyu yaitu ilmu syari’at,
karena ia adalah guru. Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak dianggap apabila
menyalahi syari’at. Inilah hakikat pengertian ilmu laduni di dalam Islam. [1]
Bagaimana Ilmu Laduni menurut orang-orang sufi ?
Ilmu Laduni menurut Sufi adalah sebagai berikut :
1/ “Ilmu laduni” atau kasyf adalah ilmu yang khusus diberikan
oleh Allah kepada para wali shufi. Kelompok selain mereka, lebih-lebih ahli
hadits, tidak bisa mendapatkannya.
2/ “Ilmu laduni” atau ilmu hakikat lebih utama
daripada ilmu wahyu (syari’at). Mereka mendasarkan hal itu kepada kisah Nabi
Khidlir alaihissalam dengan anggapan bahwa ilmu Nabi Musa alaihissalam adalah
ilmu wahyu sedangkan ilmu Nabi Khidhir alaihissalam adalah ilmu kasyf
(hakikat). Sampai-sampai Abu Yazid Al-Busthami (261 H.) mengatakan: “Seorang
yang alim itu bukanlah orang yang menghapal dari kitab, maka jika ia lupa apa
yang ia hapal ia menjadi bodoh, akan tetapi seorang alim adalah orang yang
mengambil ilmunya dari Tuhannya di waktu kapan saja ia suka tanpa hapalan dan
tanpa belajar. Inilah ilmu Rabbany.”
3/ Ilmu syari’at (Al-Qur’an dan As-Sunnah) itu
merupakan hijab (penghalang) bagi seorang hamba untuk bisa sampai kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dengan ilmu laduni saja sudah cukup, tidak perlu lagi
kepada ilmu wahyu, sehingga mereka menulis banyak kitab dengan metode kasyf,
langsung didikte dan diajari langsung oleh Allah, yang wajib diyakini
kebenarannya. Seperti Abd. Karim Al-Jiliy mengarang kitab Al-Insanul Kamil fi
Ma’rifatil Awakhir wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H) menulis kitab Al-Futuhatul
Makkiyyah.
Untuk menafsirkan sebuah ayat atau untuk mengatakan
derajat suatu hadits tidak perlu melalui metode isnad (riwayat), namun cukup
dengan kasyf sehingga terkenal ungkapan di kalangan mereka”Hatiku memberitahu
aku dari Tuhanku.” Atau”Aku diberitahu oleh Tuhanku dari diri-Nya sendiri,
langsung tanpa perantara apapun.”
Sehingga, akibatnya banyak hadits palsu menurut ahli
hadits, dishahihkan oleh ahli kasyf (tasawwuf) atau sebaliknya. Dari sini kita
bisa mengetahui mengapa ahli hadits (sunnah) tidak pernah bertemu dengan ahli
kasyf (tasawwuf). [2]
Salah satu fenomena Ilmu Laduni yang terjadi
dimasyarakat adalah apa yang di alami oleh seorang kyai salah satu pendiri
Pondok Pesantren di salah satu kota di Jawa Timur .
Kyai yang mempunyai 150-an santri itu mengaku bahwa
dirinya mempunyai Ilmu Laduni . Dengan Ilmu Laduni yang dimiliknya, sang kyai
tersebut mengaku mampu mengajarkan seseorang untuk menguasai berbagai bahasa
dengan tanpa bantuan alat pun, baik video, kaset bahasa asing, laboratorium
bahasa, apalagi native speaker. Tetapi cukup para muridnya menjalani beberapa
ritual, seperti mandi dan membaca beberapa do’a dan sebagainya. Seseorang yang
ingin belajar dengan sang kyai ini dipungut biaya Rp 1 juta. Atau Rp 350.000,
tergantung pada level yang ia masuki .Sang kyai tersebut mengaku mendapatkan
ilmu laduni itu dari Nabi Khidir AS melalui ritual tirakat (lelaku, bertapa).
Tirakat tersebut dimulainya sejak usia tujuh tahun. Dan biasanya dilakukan di
tepi laut sambil mencari ikan. Pada usia sekitar 12 tahun, sang kyai tersebut
mengaku bertemu dengan Nabi Khidir AS di tepi laut. Dalam pertemuan itu,
menurutnya bahwa wujud Nabi Khidir AS berupa seorang manusia yang mengenakan
pakaian seperti rakyat biasa. Kemudian nabi Khidir mengangkatnya sebagai
muridnya.. [3]
Bantahan Singkat Terhadap Kesesatan di atas :
1. Kasyf atau ilham tidak hanya milik ahli tasawwuf.
Setiap orang mukmin yang shalih berpotensi untuk dimulyakan oleh Allah dengan
ilham. Abu Bakar radhiallahu anhu diilhami oleh Allah bahwa anak yang sedang
dikandung oleh isterinya (sebelum beliau wafat) adalah wanita. Dan ternyata
ilham beliau (menurut sebuah riwayat berdasarkan mimpi) menjadi kenyataan. Ibnu
Abdus Salam mengatakan bahwa ilham atau ilmu Ilahi itu termasuk sebagian
balasan amal shalih yang diberikan Allah di dunia ini. Jadi tidak ada dalil
pengkhususan dengan kelompok tertentu, bahkan dalilnya bersifat umum, seperti
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam:”Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia
ketahui, maka Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum ia ketahui.” (Al-Iraqy
berkata: HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Anas radhiallahu anhu, hadits
dhaif).
Ini sesuai juga dengan firman Allah swt dalam surat
Al Baqarah : 282
وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ
“ dan bertaqwalah kamu kepada Allah, niscaya Allah
akan mengajarimu”
Firman Allah di dalam surat Al Hijr : 75
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّلْمُتَوَسِّمِينَ
“ Dan sesungguhnya pada peristiwa tersebut (
hancurnya kaum Luth ) merupakan tanda bagi orang- orang yang mempunyai firasat
“
Perlu di garis bawahi disini, bahwa orang yang punya
kelebihan tersebut tidak akan mengaku- ngaku atau mengumumkan ilmu yang ia
miliki di depan umum, apalagi sengaja untuk dikomersialkan demi mencari
kekayaan dunia. Sungguh hal ini tidak sesuai dengan ruh ajaran Islam yang
mengajarkan uamtnya untuk tidak riya’, apalagi menggunakan agama sebagai
kendaran untuk mencari dunia. [4]
2.Nabi khidir – menurut sebagian para ulama- diutus
kepada kaum tertentu, sebagaimana nabi Musa as hanya diutus kepada bani Israil.
Dan suatu hal yang sangat wajar sekali, apabila di satu zaman ada dua nabi atau
lebih. Buktinya ?
Dalam surat Yasin ayat 13-14,Allah berfirman :
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلاً أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءهَا
الْمُرْسَلُونَ إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا
بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُم مُّرْسَلُونَ
“ Berikan ( wahai Muhammad ) kepada mereka sebuah
permitsalan para penduduk suatu negri , ketika datang kepada mereka para utusan
Allah . Ketika Kami utus kepada mereka 2 orang rosul, maka mereka mendustakan
keduanya, maka Kami perkuat dengan rosul yang ketiga, mereka berkata ; “
Sesungguhnya kami adalah utusan Allah kepada kamu sekalian “
Contoh yang lain adalah nabi Ibrohim, Ismail, Ishaq
dan nabi Luth mereka hidup dalam satu zaman, begitu juga nabi Daud dan
Sulaiman, nabi Ya’qub dan Yusuf , nabi Musa , Harun dan Syu’aib, dan terakhir
nabi Zakaria, Isa dan Yahya.
3. Nabi Khidir as juga bukan pengikut nabi Musa as
dan tidak diperintahkan untuk mengikutinya , sehingga boleh-boleh saja bagi
nabi Khidir berbuat tidak seperti apa yang diajarkan nabi Musa as, karena
setiap nabi mempunyai manhaj dan syareah yang berbeda-beda. Kemudian setelah
itu datang seseorang mengaku sebagai wali Allah dan mempunyai ilmu laduni ,
sehingga membolehkan dirinya keluar – atau tidak mengikuti syareah yang di bawa
nabi Muhammad saw. Na’udzibillahi mindzalik
Jangankan dia….yang namanya nabi Isa as saja, nantinya kalau turun ke bumi lagi
untuk membunuh Dajjal, akan ikut dan patuh dengan syareat nabi Muhammad saw.[5]
4.Adapun pernyataan Abu Yazid, maka itu adalah suatu
kesalahan yang nyata karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam hanya mewariskan
ilmu syari’at (ilmu wahyu), Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi mengatakan bahwa para
ulama yang memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itulah pewarisnya, sedangkan
anggapan ada orang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang mengambil ilmu
langsung dari Allah kapan saja ia suka, maka ini adalah khurafat sufiyyah.
5.Anggapan bahwa ilmu syari’at itu hijab adalah sebuah kekufuran, sebuah tipu
daya syetan untuk merusak Islam. Karena itu, tasawwuf adalah gudangnya
kegelapan dan kesesatan. Sungguh sebuah sukses besar bagi iblis dalam
memalingkan mereka dari cahaya Islam.
6.Anggapan bahwa dengan “ilmu laduni” sudah cukup
adalah kebodohan dan kekufuran. Seluruh ulama Ahlussunnah termasuk Syekh Abdul
Qodir Al-Jailani mengatakan: “Setiap hakikat yang tidak disaksikan (disahkan)
oleh syari’at adalah zindiq (sesat).” [6]
7. Seseorang yang mengaku mendapatkan Ilmu Laduni,
sebagaimana yang di dapat oleh Nabi Khidir as, sama saja ia mengaku mendapatkan
wahyu dari langit, karena yang didapat nabi Khidir adalah wahyu. Seseorang bisa
mengetahui ilmu ghoib dengan perantara Jin atau Syetan , karena Jin dan Syetan
sering mencuri pendengaran tentang hal-hal ghoib dari langit. Sebagaimana
firman Allah didalam surat Al Hijr : 17-18,
وَحَفِظْنَاهَا مِن كُلِّ شَيْطَانٍ رَّجِيمٍ إِلاَّ مَنِ
اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُّبِينٌ“
Dan Kami jaga langit2 tersebut dari syetan yang
terlaknat, kecuali mereka yang mencuri pendengaran ( dari hal2 yang ghoib ) ,
maka dia akan dikejar oleh batu api yang nyata “
Ayat – ayat senada juga bisa dilihat di dalam surat
As Shoffat :10 dan Surat Jin : 9.
8. Seseorang yang mengaku mempunyai ilmu laduni
dengan perantara ilmu-ilmu kanuragan ( ilmu kesaktian ) yang ia dapatkan dengan
latihan-latihan tertentu, seperti bertapa di tengah sungai selama 40 hari 40
malam, atau puasa selama 40 hari berturut-turut, atau dengan hanya makan nasi
putih saja tanpa lauk dalam jangka waktu tertentu atau dengan cara-cara lain
yang sering dikerjakan sebagian orang. Maka kita akan tanyakan kepadanya,
apakah cara-cara seperti itu pernah diajarkan oleh Rosulullah saw dan para
sahabatnya atau tidak ? kalau jawabannya tidak, berarti dia mendapatkan ilmu
tersebut dengan meminta bantuan dari jin dan syetan.Sebagaimana seseorang bisa
menjadi kaya mendadak dengan meminta bantuan Jin dan Syetan. Perbuatan seperti
ini dilarang oleh Islam, sebagaimana firman Allah didalam surat Jin : 6
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ
مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“ Dan sesungguhnya ada diantara manusia yang meminta
perlindungan dari segolongan Jin , maka segolongan Jin itu hanya aka menambah
kepada mereka kesusahan. “
Kita dapati banyak orang pada zaman sekarang yang
memelihara Jin untuk memperoleh kekayaan dengan cepat, tetapi yang mereka
dapatkan hanyalah kesusahan. Mereka akhirnya mati secara mengenaskan karena
menjadi “ tumbal” Jin yang ia pelihara … Sungguh Maha Benar Allah dengan segala
firmanNya. [7]
[1] Lihat
Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu Laduni, Antara Hakikat dan Khurafat (http://van.9f.com/ilmu_laduni.htm)
[2] Lihat
Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu Laduni, Antara Hakikat dan Khurafat (http://van.9f.com/ilmu_laduni.htm)
[3] Lihat
Gatra Senin 4 April 20052. Lihat Ahmad Zain An Najah, Ilmu Laduni, dalam www.al-ukhuwah.com atau
www.swaramuslim.net.
[6] Lihat
Abu Hamzah As-Sanuwi, Ilmu Laduni, Antara Hakikat dan Khurafat (http://van.9f.com/ilmu_laduni.htm)
[7] Lihat
Ahmad Zain An Najah, Ilmu Laduni, dalam www.al-ukhuwah.com atauwww.swaramuslim.net.
Lihat juga Ilmu Laduni, karya Imam Ghozali, penerbit : Al Hikmah ( Mizan Group
) ,